Waktu itu aku sedang sendiri.
Aku baru saja (sekitar sebulan) berpisah dengan salah seorang gadis yang sangat kusayangi.
Ah, aku sendiri heran, mengapa
perpisahan yang kali ini membuatku sedikit sakit hati.
Hari-hari terasa sangat berat
tanpa kehadirannya, bahkan
aku pun punya rasa sedih
akan kehilangan seseorang
(setidaknya itulah yang
kupikirkan saat itu).
Aku jadi
semakin sering menelepon
Enni (kekasih pertamaku)
walau hanya sekedar
menceritakan betapa aku
merasa sangat sendirian.
Mungkin kalian pernah
merasakan (paling tidak
sekali) serius menjalin
hubungan dengan seseorang,
dan begitu pula aku. Pathetic,
untuk cowok sepertiku. Tapi,
yah terkadang perasaan tak
dapat selalu ditipu, bukan?
Suatu hari aku (karena
menganggur sekali)
menghabiskan waktu luangku
di toko buku Gramedia, di
jalan Kertajaya, sekedar
membaca-baca buku. Soalnya
di sana satu-satunya toko
buku bermutu dimana kita
bisa membaca gratis. Waktu
itu aku sedang menikmati
membaca buku komik Jepang
Elex Media terjemahan bahasa
Indonesia (entah apa
judulnya, soalnya aku tak
ingin repot mengingatnya).
Menyandarkan tubuhku di
tembok di sebelah rak buku,
dan membiarkan orang-orang
memandangku dengan heran
saat aku tertawa. Saat itulah
tiba-tiba aku melihat sebuah
kepala muncul dari balik buku
yang kupegang.
"Nia?" seruku tak percaya.
"Ray? Bener kan? Raayy!"
seru gadis itu tak kalah
sengit.
Kami berdua tanpa terasa
saling berpelukan, tertawa-
tawa, membiarkan adegan
tak senonoh itu dilihat orang
di sekitar kami.
"Ssshh.. banyak orang," Nia
berkata kepadaku.
"Hahaha.. nyari tempat yuk,"
kataku.
Kugandeng tangannya keluar
dari Gramedia. Kami akhirnya
mengambil tempat di salah
satu warung di sebelah toko
buku itu.
"Ray, gimana aja kabarnya..
umm.. setahun yah?"
Ah ya setahun, lama memang.
"Yah, baik-baik saja. Kamu?"
Lalu Nia bercerita tentang
bagaimana ia setelah lulus
SMU, berangkat ke Jakarta
untuk meneruskan kuliah D1
di sebuah universitas negeri
di sana. Setelah tamat, ia
kembali ke Surabaya dan
bekerja di sebuah bank
swasta yang namanya cukup
kondang di Indonesia.
Ceritanya sangat panjang
(dan siapapun takkan mau
mendengarnya,
membosankan), namun yang
kutahu saat itu aku butuh
teman untuk bicara, untuk..
"Ray, jadi inget waktu dulu."
Aku pun teringat. Waktu..
Kota Xxx, Jawa Timur, 1995
Kami bertengkar hebat hari
itu. Enni tidak mau lagi
mendengar alasanku. Dia
benar-benar marah ketika
mengetahui bahwa aku
melupakan janjiku untuk
mengantarnya les hanya demi
bandku. "Pulang, pikir dulu
perbuatan kamu, baru temui
aku lagi!" Huh, ya sudah,
pikirku sambil beranjak keluar
mengambil sepeda Federal-ku
dan ngeloyor pulang. Di
tengah jalan hampir saja aku
terjatuh, reaksi Nipam di
tubuhku masih belum hilang
benar. Aku pulang ke rumah,
membanting sepedaku di
halaman, dan langsung menuju
ke kamar. Kubuka lemariku
dan mengambil sebotol
Bacardi yang isinya tingal
setengah. Kuambil 'tik' obat di
saku belakangku. Memencet
keluar dua butir terakhir,
mengunyahnya sambil
menenggak seteguk cairan
dari botol di hadapanku.
Nikmat! Anganku melayang,
kujatuhkan tubuhku di
tempat tidur, menunggu
reaksi obat bekerja. Cih,
pikirku, siapa yang butuh
wanita. Kubuka retsleting
celanaku, mengeluarkan
batang kemaluanku,
menggoyang-goyangnya
sejenak dalam genggamanku
sampai menegang. Kusentil
ujungnya dengan telunjukku
sambil tertawa kecil. Gila, aku
tahu kamu protes atas
ucapanku, hahahaha. Setan
pun tertawa dalam jiwaku.
Kubayangkan tubuh Enni di
atasku, tanpa pakaian,
tubuhnya bersimbah peluh.
"Ahh.. uhh.. ahh.. Ray.. ahh..
ahggh.. agg.. ahh.." kutariik-
tarik kulit kemaluanku,
merasakan nikmat pada
ujung-ujung sarafnya.
Sekarang Enni menciumi
dadaku dengan ganas,
menggerak-gerakkan
pinggulnya, "Ahh.. mm.. mm..
hh.. ahh.. ngnggnn.. hh.."
kuraasakan keringat di
permukaan perutku. Nikmat,
anganku semakin melayang.
Bangsat hina! Kulepaskan
genggamanku pada batang
kemaluanku, mengeleng-
gelengkan kepalaku untuk
memperoleh sedikit
kesadaran. Monyet!
Kuulurkan tanganku
mengangkat gagang telepon
yang barusan berbunyi keras
sekali di pinggir kepalaku.
"Halo..?" nada suaraku
terdengar penuh emosi.
"Ray? Kamu tidur..? Sori deh.."
nada suara ketakutan
terdengar dari seberang.
"Ah.. nggak apa-apa. It's
okay," emosiku sedikit
mereda.
"Kamu ada masalah apalagi
dengan Enni?"
"Biasa, sifat kekanak-
kanakannya belum mau
hilang."
"Ya sudahlah, tadi dia nangis
telpon aku.."
"Lalu? Kamu mau menyuruhku
minta maaf ya?"
"Bukan gitu, Ray.."
"Ya sudah deh, aku ngantuk."
Kuletakkan gagang telepon
tanpa menunggu sahutan
suara di seberang. Kembali
menelentangkan tubuhku,
menggenggam batang
kemaluanku. Hup. Ah, ya.
Kuangkat lagi gagang telpon,
menekan beberapa nomor.
"Nia? sori aku sedikit emosi."
"Hmm.. iya deh, tapi jangan
berantem terus."
Pikiranku sedikit melayang.
Obat sialan.
"Nia, jalan yuk."
"Ha? Mau kemana?"
"Curhat saja, aku pingin
refreshing," sahutku sok
sedih.
"Iya deh, jangan pulang
malam-malam okay."
"Yop."
Kuletakkan gagang telpon
ketempatnya semula,
mengambil celanaku dan
berpakaian.
"Ma.. aku pakai mobil,"
teriakku.
"Mau kemana Ray? Nanti
Papa pulang loh.." mama
berteriak dari dalam kamar.
"Bentar saja.." sahutku, dan
langsung mengambil kunci
mobil dan tanpa menunggu
seruan mamaku, aku
membawa mobil papa keluar
rumah.
Di jalan kutenggak teh pahit
yang selalu kubawa di saku
jaketku. Ah, lumayan segar.
Kutaruh kembali botol Vicks
44 itu ke dalam saku jaketku,
dan memacu gas mobil menuju
ke rumah Nia.
Kugerayangi buah dadanya,
menciumi puting susu-nya,
melumat bibirnya, meraba
selangkangannya, "Ahh.. uh..
oh.. hkk.. jangan gitu dong,
Ray. Kamu harus lebih
pengertian." Kubanting stir ke
kiri, memasuki jalan menuju
ke luar kota yang ditumbuhi
pepohonan, jalan itu terlihat
sepi dan gelap.
"Bagaimana bisa pengertian
kalau sifatnya seperti itu
terus?"
"Yaahh.. bagaimana yah?" Nia
terlihat bingung, matanya
menatap jendela, melihat
pepohonan yang seakan
berlari.
"Memang anaknya seperti itu,
Ray?" lanjutnya.
Saatnya, pikirku. Kubanting
stir melewati kali kecil di bahu
jalan, itu bukan masalah
untuk Taft GT milik papaku.
Kurasakan Rena mengelus
rambutku. Aku menangis
semakin keras, mengerang
dan terisak, sesekali menguap
dengan gerakan sesamar
mungkin, sekedar memastikan
air mataku tetap keluar.
"Aku sedih.." isakku.
Yah, sedih sekali, sampai
menempelkan kepalaku di
pahanya.
"Ya, begitulah namanya orang
pacaran, kan nggak harus
senang terus.." kudengar
bisikannya.
"Kamu baik.." kataku lirih
nyaris tak terdengar.
Nia mencondongkan
kepalanya.
"Apa..?"
Susu-nya itu loh, menempel di
ubun-ubunku, seandainya aku
bisa berkata begitu saat itu.
Namun, aku lebih memilih
untuk memutar tubuhku,
mengangkat punggungku
sekuat tenaga sehingga
dapat menyentuh bibirnya
dengan bibirku. "Hhh.. Ray.."
Peduli amat, lagi enak, nih.
"Aku butuhh.. mm.." kukulum
bibirnya.
"Sayanghh.." Nia membalas
ciumanku.
Matanya terpejam. Kuangkat
sisi tubuhku, memeluk
belakang lehernya dengan
telapak tanganku. Plakk!
Tamparan itu telak mengenai
pipiku, membuat pengaruh
obat di kepalaku sejenak
berkurang. "Nia.. maaf.." Aku
beringsut ke bangkuku
sendiri, menutup mukaku dan
menangis seperti seorang
anak kecil. Cukup lama dan
melelahkan untuk berpura-
pura seperti itu. "Ray.. aku
juga minta maaf.." Akhirnya
siasat ini memang tak pernah
gagal.
Nia diam saja saat aku
membalikkan tubuhku dan
mengecup bibirnya. "Ah.. mm.."
kudengar Nia mengeluh dan
kulihat matanya terpejam,
meninggalkan garis
kepasrahan saat kugenggam
susu-nya dengan telapak
tanganku. Sip, pikiranku mulai
bergerak cepat dalam kondisi
setengah sadar. Kutempelkan
telapak tangaku ke belakang
lehernya, menekan kepalanya
supaya aku bisa melumat
bibirnya lebih dalam. "Hhh..
Nia.." kuremas dadanya di
genggamanku, menikmati
kekenyalannya. Nia diam saja
saat kumasukkan tangaku ke
dalam bajunya. "Ray.." Entah
setan mana yang menyetir
otakku saat itu, kuremas
buah dadanya yang empuk,
mengulum bibirnya dengan
penuh nafsu, membuatnya
terengah-engah menahan
tekanan kepalaku.
Nia menurut saat. Kugandeng
lengannya menuju jok
belakang. Kukulum lagi
bibirnya, sekarang tanganku
mengangkat bagian bawah
bajunya. "Ray.. hh.." Kuangkat
bajunya melewati kepalanya,
menciumi dadanya, menjilati
BH yang menutupi
payudaranya, memegang
ketiaknya, mendorong
punggungnya terangkat,
sehingga bisa kutekan
kepalaku di dadanya. "Ahh..
mmhh.. ah.. nikmatnya.." Nia
mengeluh kecil saat kulepas
kaitan BH-nya. Kulihat
payudaranya yang
membusung dan putingnya
yang terlihat menggoda.
Kuhisap putingnya,
menyaksikan pori-porinya
yang membuka saat kujilati
kulit dadanya. "Ray.. hh.."
kubekap mulutnya dengan
bibirku, nafasku mulai
terengah-engah oleh nafsuku
sendiri. Kubuka baju atasku,
menempelkan dadaku ke
payudaranya, menekan dan
menggesek, menikmati semua
keluhan dan rintihannya yang
tertahan ketika bibirku
mengulum bibirnya.
Ah.. kenikmatan ini,
kenikmatan yang selalu
kuinginkan saat hatiku
gundah. Kepalaku terasa
sangat ringan. Kubaringkan
dia di jok belakang, sambil
terus menekan dadaku,
memastikan dia tidak banyak
bergerak. "Ray.. jangan, Ray.."
Ahh, betapa aku merindukan
setiap gadis yang merintih
seperti itu di dekapanku.
Kuteruskan membuka celana
pendeknya, membiarkan
pahanya terlihat jelas. Ahh,
kuelus dan kuraba pahanya
tanpa memperdulikan tatapan
matanya yang setengah
terbuka, menatap protes
atas perlakuanku kepadanya.
Jadi, sebelum tangannya
menyingkirkan tubuhku,
kuciumi lagi wajahnya,
meremas payudaranya,
membuatnya mengerang dan
melenguh. "Ahh.. mmhh..
nnggh.." kunikmati gerakan
tulang punggungnya yang
terangkat. Ahh, nikmatnya.
Kuraba betisnya, menelusuri
kulit pahanya yang mulus,
dan meletakkan telapak
tanganku di permukaan
belahan pahanya, beristirahat
sejenak, menikmati
genggamannya di pergelangan
tangaku yang menguat. "Ya
Tuhan.. ahh.." Sayang, jangan
mendesahkan nama Tuhan
sekarang, paling tidak jangan
saat ini. Kuraba celah
kemaluannya yang mulai
basah dari balik celana
dalamnya.
Menggerak-gerakkan jariku,
membuatnya semakin meronta
dalam tindihan dadaku. "Ray..
oohh.. hh.." Dengan gerakan
halus kutarik celana dalamnya
menelusuri pahanya, betisnya,
menikmati geliatnya di
tindihanku. Ahh.. betapa
indahnya kenyataan yang
akan kuberikan padamu,
gadisku. Kukecup bibirnya
dengan lembut, sebelum
membuka ikat pinggangku dan
menurunkan celanaku berikut
celana dalam yang menutupi
auratku.
Nia memandang mataku
dengan wajah memelas
memohon pengertian, namun
pengertian apakah yang bisa
kuberikan kepadanya saat
itu? Nyaris tidak ada.
Kugenggam pergelangan
tangannya, menuntunnya ke
batang kemaluanku yang
mulai tegang tak karuan.
"Aaahh.." kurasakan
nikmatnya saat tangannya
menempel dan menggenggam
batang kemaluanku.
"Ray, aku tidak mau begini."
"Nia, please.." kukecup
bibirnya, sama sekali tidak
merasakan penolakannya.
"Ray.." mendadak (seperti
wanita pada umumnya) Nia
menekan bahuku menjauh.
"Oke," katanya.
"Aku sebenarnya juga mau."
Wah, ini luar biasa, pikirku.
"Tapi ada syaratnya.."
Sial!
"Kamu harus mau menjadi
pacarku."
Aih, jadi ini masalahnya. Dapat
kubayangkan hubungan
persahabatan kompetitif
antara Enni dan Nia, ahh..
begitu bodohkah aku?
"Okay.. as you wish.. my lady."
Ternyata begitu, hmm..
mungkinkah Nia merasa iri
atas keberhasilan Enni
mendapatkanku? Sempat
terpikir olehku tentang apa
saja yang telah diceritakan
Enni kepadanya mengenai
hubungan kami. Tapi..
mendadak Nia menekan
leherku dengan tangannya,
mengecup bibirku dengan
penuh nafsu. "Ah? Mmm.."
Dalam keterkejutanku, aku
nyaris tidak percaya semua
ini. Nia mendadak menggerak-
gerakkan genggamannya
pada batang kemaluanku.
"Ahh.. ah.. ah.. kk.." tak dapat
kutahan nikmat yang
menjalar di seluruh pembuluh
darahku. Kuciumi seluruh
wajahnya, menjilat bibirnya
yang terbuka dan terengah,
menggigit lehernya, menghisap
puting susu-nya dan tanpa
basa-basi kuangkat tubuhku,
menaikkan pahanya ke
samping, dan menempelkan
ujung kemaluanku di
permukan liang kemaluannya.
Kulihat pandangan matanya
yang sayu, melihat anggukan
kecilnya. Apakah ini saatnya
perjalananku berhenti?
Membayangkan memiliki
seorang kekasih yang tak
dapat kulepas lagi? Masa
bodoh.
"Ahh.." kudengar ia menjerit
kecil saat kutekan-tekan
ujung kemaluanku ke liang
kemaluannya. Namun aku
masih sangat muda dan miskin
pengalaman saat itu, bahkan
dengan keseringanku
menonton film blue aku masih
tidak dapat melakukannya.
Aku menjadi bingung,
keringatku keluar dari dahi
dan sekujur tubuhku. "Ahh..
ah.. ah.. Ray.. ah.." kudengar
erangannya saat pinggulku
bergerak-gerak di atasnya.
Shit! bagaimana melakukannya
dengan benar? Saat itu aku
menjadi panik.
"Nggak mau masuk, nih.."
kataku dengan alis berkerut.
"Ahh.. hidupin.. lampunya.." Nia
berkata setengah tertahan.
Hah? Lampu, sempat aku
celingukan seperti orang
bingung menatap sekelilingku.
Gila apa ya? Dalam
kebingunganku, pinggul Nia
terangkat menekan batang
kemaluanku, membuatku
sedikit mengerang.
"Ngga ah.. kamu aja yang
naruh," ujarku.
"Hhh.." Nia memegang batang
kemaluanku dan menaruhnya
di.. entah bagian mana dari
kemaluannya. Aku berusaha
menekan lagi,
"Ahhkk.."
Kami mengerang bersamaan,
kutekan-tekan batang
kemaluanku, tanganku
menggapai susunya dan
meremas-remas, membuat
kepalanya terangkat ke
belakang.
Keringat di tubuhku semakin
deras karena kurangnya
ventilasi di dalam mobil, dan
karena segala gerakan yang
kulakukan. "Ahh.. ahh.. ah.." Nia
masih mengerang-erang di
bawahku. Kutekan terus
batang kemaluanku berusaha
menembus "apapun" juga
yang menghalangi
pergerakannya saat itu. Aku
mulai jenuh menekan-nekan
tanpa hasil. Nia mengangkat
kepalanya dan memandang ke
bawah. "Duh.. gimana sih..
sakit nih.." Ya gimana dong?
pikirku saat itu. Kuakui aku
masih buta melakukan
hubungan seksual, kalau
peting sih sering. "Terus.."
tanyaku. Nia bangkit,
mendudukkan dirinya, dan
menarik pundakku.
"Coba kalau begini."
"Ahhkk.."
Kurasakan bibirnya yang
menempel di dadaku.
"Ahh.. ah.."
Nia mengeluh saat tangannya
menggenggam batang
kemaluanku dan menaruhnya
di entah bagian mana dari
kemaluannya dan
mendudukinya.
"Aacchh.." batang kemaluanku
terasa sakit. Nia menarik
punggungnya ke belakang,
meletakkan tangan kanannya
di atas sandaran kepala
bangku depan, dan
menggoyang-goyang
pinggulnya yang menduduki
batang kemaluanku. "Ahh.. ah..
ah.." aku mulai merasakan
kenikmatan yang ditimbulkan
oleh goyangannya di sekujur
tubuhku.
"Ahkk.."
Tanganku mencengkeram
pahanya, berusaha menahan
spermaku yang hampir keluar.
"Arrgghh.."
Kusentakkan pinggulku ke
atas, membuat tubuh Nia
terangkat sejenak, spermaku
menyembur entah kemana.
Membuat mataku rabun dan
pikiranku yang sudah
terkontaminasi obat
melayang.
Nia menggerak-gerakkan
pinggulnya lagi.
"Ahh.. ahh.." kudengar
nafasnya mendengus.
"Nia.. udah dong.." kataku.
Selalu begini, begitu sudah
keluar, langsung saja
keinginan itu hilang lenyap.
"Ha? Kan belum masuk?"
kudengar Nia berbisik protes.
Kuangkat tubuhku, menatap
kemaluanku yang mulai agak
lemas.
"Masa?" tanyaku.
"Iya, kayaknya belum deh.."
Nia menimpali.
Akh, hahahahahahaha..
"Untunglah.." kataku tanpa
memperdulikan bibirnya yang
terlipat.
"Ray.. duh.."
Kukenakan baju dan celanaku,
melihatnya masih duduk di
pojok kursi belakang tanpa
pakaian dan menyilangkan
tangannya di dada.
"Nih.." ujarku saat mengecup
bibirnya dan dadanya.
Kuremas lubang kemaluanya
sambil tertawa. Akhirnya Nia
tertawa mengiringiku, dan
mengenakan baju dan
celananya kembali. Anehnya,
pengaruh obat itu mulai
terasa agak ringan sekarang.
Kuantar ia pulang ke
rumahnya. Sampainya di
depan pagar, kesadaranku
mendadak sedikit pulih.
"Nia.. umm.. kita.."
Nia membalikkan tubuhnya,
"Aku tahu kok.. nggak pernah
ada apa-apa kan?" Aku
tersenyum kepadanya.
"Thanks.."
"Your welcome, Ray," jawab
gadis manis itu sebelum
menghilang di balik pintu
rumahnya.
Ah.. what a night.
Kukendarai mobilku menembus
gelap malam. Mendadak saat
itu aku ingin menelepon Enni
dan meminta maaf.
---------------------------------------
"Ray..?" "Ah, sorrie.." sahutku
cepat.
"Eh.. Nia.. mm.. gini.." Nia
tertawa melihat kegugupanku.
"Jalan yuk."
"Hah.. sure.." aku tergagap-
gagap.
Selalu saja anak ini tahu
maksudku. Hehehehehe!
Dalam perjalanan, Nia lalu
bercerita bagaimana semenjak
lulus SMU ia selalu berusaha
melupakanku dan menolak
setiap lelaki yang berusaha
mendekatinya. Dan
mengomeliku karena tidak
pernah menghubungiku lagi
sejak perpisahanku dengan
Enni. Aku sangat terharu,
karena aku juga tahu betapa
ia menyayangiku, namun
karena persahabatan adalah
yang terpenting baginya, ia
rela menyerahkan
kemenangan itu kepada Enni.
Ah, Nia.. seandainya saja.. Nia
lalu bercerita bagaimana Mas
Dita (begitu dia menyebutnya)
berhasil meluluhkan gunung es
dalam hatinya, dan
mengajaknya bertunangan
kira-kira dua bulan yang lalu.
Sampai di sini aku terdiam,
memandangnya tanpa
berkedip, lalu kami berdua
tertawa terbahak-bahak,
antara sedih, kerinduan, dan
kasih sayang tulus seorang
teman sejati.
Masih kuingat, sebelum
kuturunkan kembali ia di
Gramedia (karena Dita akan
menjemputnya seperempat
jam lagi), Nia sempat mencium
pipiku dan meremas
kemaluanku dari balik
celanaku, tersenyum
memandangku dan berkata,
"Ray, kita akan bersahabat
selamanya.." aku hanya bisa
tersenyum saat itu, semua
gejolak nafsuku hilang
berganti perasaan menyesal,
sayang, dan haru yang
berkecamuk di hatiku. "Tentu..
Nia.." jawabku.
0 comments:
Post a Comment